Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak
ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran. (Al-Baqarah:221)
Kata musyrikah
atau musyrik dalam ayat di atas artinya seorang yang menyekutukan Allah. Imam
Al Ashfahani membagi makna al syirk dua macam:
(a) Al Syirkul adziim (syirik besar) yaitu
menetapkan sekutu bagi Allah. Termasuk kategori ini makna firman Allah:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
besar (An-Nisa:48). Dalam ayat lain: Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain
syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
(sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah tersesat sejauh-jauhnya.
(An-Nisa:116)
(b) Al Syirkush Shaghiir (syirik kecil)
yaitu mendahulukan selain Allah dalam tindakan tertentu, seperti riya’ (ingin
dipuji orang), termasuk dalam kategori ini pengertian ayat: Dan sebahagian
besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain) (Yusuf:106), maksudnya
mengutamakan kepentingan-kepentingan dunia di atas tujuan-tujuan akhirat (lihat
Al Ashfahani, Mufradat alfaadzil Qur’an, h.452).
Para ahli tafsir,
dalam menjelaskan kata musyrik selalu mencontohkan dengan agama majusi
(penyembah api) dan watsani (penyembah berhala). Ada juga sebagai mufassir yang
mendefinisikan musyrik dengan semua orang kafir yang tidak bergama Islam.
Dengan pengertian ini maka umat Yahudi dan Nasrani tergolong musyrik. Dan ayat
di atas dengan tegas melarang pernikahan seorang mukmin dengan wanita musyrikah
begitu juga sebaliknya seorang mu’minah dengan lelaki musyrik. Mengapa? Karena
batasan yang sangat fundamental yaitu perbedaan aqidah. Dari perbedaan aqidah
ini akan lahir perbedaan tujuan dan pandangan hidup. Maka tidak mungkin seorang
mukmin atau mu’minah yang benar-benar jujur dengan keimanannya rela
mengorbankan aqidahnya demi kepentingan dunia. Imam Al Qurthubi menyetir
ketetapan ijma’ul ummah bahwa seorang musyrik tidak boleh menikahi seorang mu’minah
apapun alasan nya. Imam Asyaukani menyebutkan sebuah riwayat bahwa seorang
sahabat bernama Murtsid bin Abi Murtsid pernah didatangi bekas orang yang
pernah dicintainya dulu waktu di zaman jahiliyah. Wanita itu lalu minta untuk dizinahi.
Murtsid segera menjawab: Wah, itu tidak mungkin, sebab saya sudah masuk Islam,
dan Islam telah menjadi penghalang di antara kita. Lalu wanita itu minta agar
dinikahi saja. Murtsid berkata: kalau begitu saya akan menemui Rasulullah dulu.
Lalu turunlah ayat di atas. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadiir: vol.1, h.244).
Dari sini jelas bahwa tidak mungkin seorang yang beriman menikah dengan seorang
yang masih kafir. Maka jika ada seorang yang mengaku mu’min atau mu’minah,
kemudian ia ternyata rela dan berani melakukan pernikahan dengan seorang yang
musyrik atau musyrikah, itu berarti dalam keimanannya ada masalah. Sebab dengan
terang-terangan ia telah berani melanggar ketentuan Allah seperti dalam ayat di
atas.
Menikahi
Wanita Ahlul Kitab (Kitabiyah)
Dalam ayat di
atas, hanya disebutkan istilah musyrikah atau musyrik, tetapi belum disebutkan
istilah ahlul kitab, sementara di tempat lain Al Qur’an menggunakan istilah
ahlul kitab untuk umat Yahudi dan Nasrani. Allah berfirman: (Kami turunkan
Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa Kitab itu Hanya diturunkan
kepada dua golongan saja sebelum kami (yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani)
(Al-An’am:156). Pertanyaannya sekarang apakah ahlul kitab termasuk golongan
musyrikiin? Menurut definisi di atas maka ahlul kitab termasuk kaum musyrikiin.
Jika demikian bolehkah seorang mu’min menikahi wanita ahlul kitab?
Mayoritas ulama
(jumhur) membolehkan seorang mu’min menikah dengan wanita ahlul kitab (dari
umat Yahudi atau Nasrani). Dan ini pendapat yang kuat (rajih). Bahkan ada
sebagian yang mengatakan seperti Imam Al Jashshash – tidak ada khilaf di
dalamnya, kecuali Abdullah bin Umar yang memandangnya makruh (lihat Al
Jashshash, Ahkamul Qur’an, vol. 2, h.324). Namun kendati demikian menikah
dengan wanita muslimah tetap harus diutamakan. Sebab pada hakekatnya, di antara
hikmah dibolehkannya adalah dalam rangka untuk mengislamkannya. Dan seorang
suami mu’min sebagai kepala rumah tangga tentu sangat berperan dan menentukan
dalam proses tersebut. Berbeda halnya jika sang istri muslimah dan suami
non-muslim. Sang istri tentu sangat berat untuk mempengaruhi sang suami, bahkan
bisa dipastikan sang istri akan kewalahan. Sebab tabiat seorang istri biasanya
selalu ikut apa kata suami. Atas dasar ini mengapa seorang muslimah tidak boleh
bersuamikan seorang ahlul kitab.
Beberapa alasan
yang menguatkan bolehnya seorang muslim beristrikan wanita ahlul kitab sebagai
berikut:
(a) Bahwa kata musyrikaat pada ayat di
atas tidak termasuk ahlul kitab, dalilnya: Orang-orang kafir dari Ahli Kitab
dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan
kepadamu dari Tuhanmu (Al-Baqarah:105) Di sini nampak dibedakan antara
orang-orang musyrik dengan ahlul kitab. Begitu juga dalam surat Al Bayyinah
Allah berfirman: Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik
(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang
kepada mereka bukti yang nyata. (Al-Bayyinah:1). Dikatakan bahwa wawu
athf menunjukkan perbedaan (almughayarah). Dengan ini jelas bahwa ahlul kitab
bukan orang-orang musyrik. Toh kalaupun dikatakan bahwa mereka tergolong
musyrik, maka dengan ayat tersebut nampak adanya pengkhususan, seakan
dikatakan: Tidak boleh menikah dengan wanita musyrikah kecuali wanita ahlul
kitab.
(b)
Allah berfirman: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi (Al-Maidah:5). Ini menunjukkan
bahwa menikah dengan wanita ahlul kitab hukumnya boleh.
(c)
Diriwayatkan bahwa Utsman bin Affan ra. menikah dengan Nailah Al Kalbiyah,
wanita Yahudi, begitu juga Thalhah bin Ubaidillah ra. menikah dengan wanita
Yahudi dari penduduk Syam. Itu pun tidak ada satupun riwayat yang mengatakan
bahwa salah seorang sahabat menentang pernikahan tersebut. Dari sini nampak
bahwa mereka bersepakat atas bolehnya menikah dengan wanita ahlul kitab.
Walhasil,
bahwa sekalipun pernikahan dengan wanita ahlul kitab hukumnya boleh, namun
lebih utama seorang muslim tidak melakukannya. Salah seorang alim besar dalam
Madzhab Hanafi, Kamal bin Hammam berkata: Memang boleh menikah dengan wanita
ahlul kitab, tetapi lebih baiknya seorang muslim tidak melakukannya, kecuali
dalam kondisi darurat (lihat Al kamal bin Hammam, Fathul Qadiir, Syarhul
Hidayah fii fqhil hanafiyah, vol.2, h.372). Pesan Kamal bin Hammam ini ternyata
ada dasarnya: diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah menyuruh sahabatnya
Hudzaifah untuk menceraikan istrinya yang tergolong kaum Yahudi. Hudzaifah
bertanya: Apakah kamu melihat bahwa pernikahan seperti ini hukumnya haram? Umar
menjawab: Tidak, tetapi saya takut hal ini kelak menjadi contoh yang diikuti
banyak orang. Umar benar dalam sikapnya ini, sebab jika kemudian pernikahan
seperti tersebut, benar-benar menjadi fenomena umum, bagaimana nantinya nasib
wanita-wanita muslimah? Dan perlu diingat bahwa diantara hikmah dibolehkannya
menikah dengan kitabiyah adalah supaya wanita kitabiyah itu masuk ke pangkuan
Islam melalui pernikahan. Jika diperkirakan itu tidak mungkin terjadi, para
ulama memakruhkan. Oleh sebab itu ada kondisi di mana seorang muslim
dimakruhkan menikah dengan kitabiyah: Pertama, wanita tersebut harbiyah
(mempunyai jiwa menyerang, tidak mungkin dipengaruhi dan bahkan mungkin akan
menyebabkan hancurnya moral anak-anak yang dilahirkan, serta tidak mustahil ia
akan mempengaruhi sang suami) (lihat, Ibid, vol.2. h. 372). Kedua, adanya
wanita muslimah yang bisa dinikahi. Imam Ibn Taymiah mengatakan: Makruh
hukumnya menikah dengan wanita kitabiyah sementara di saat yang sama masih ada
wanita-wanita muslimah (lihat, alikhtiyaraat alfiqhiyah min fatawa syaikhil
Islam Ibn Taymiah, h. 217).
Menikah
Dengan Laki-laki Ahlul Kitab
Ayat di atas
menegaskan: dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Dalam konteks ini tidak ditemukan
ayat lain yang mengkhususkannya, seperti ayat mengenai menikah dengan wanita
kitabiyah. Artinya tidak ada keterangan lain mengenai hukum boleh-tidaknya
menikah dengan laki-laki ahlul kitab, kecuali ayat di atas. Bila disebutkan
bahwa ahlul kitab tergolong orang-orang musyrik, maka berdasarkan ayat di atas
tidak boleh seorang muslimah menikah dengan laki-laki musyrik. Berbeda jika
wanitanya ahlul kitab dan calon suamimya muslim, itu dibolehkan karena adanya
ayat lain yang menegaskan bolehnya sebagaimana telah diterangkan tadi.
Jelasnya, bahwa
seorang wanita muslimah tidak boleh dalam kondisi apapun menikah dengan seorang
yang musyrik, termasuk laki-laki Yahudi dan Nasrani, karena al Qur’an telah
menyebutkan bahwa mereka tergolong kafir. Allah berfirman: Orang-orang kafir
yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (QS.
98:1). Lebih dari itu mereka juga akan selalu mempengaruhi istrinya agar
menjadi kafir, yang dengannya ia bisa masuk neraka, Allah berfirman pada ayat
di atas: mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya.
Kerena itulah
Allah menekankan dengan sangat tegas bahwa menikah dengan seorang mukmin tetap
lebih utama, sekalipun ia seorang budak: walaamatun mu’minatun khairun min
musyrikatin walau a’jabatkum (Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu). Lalu dipertegas lagi pada
ayat berikutnya: wala abdun mu’minun khairun min musyrikin walau a’jabakum
(Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu). Perhatikan, penegasan ini tidak mengandung penfsiran lain
keculai bahwa yang harus diutamakan dalam pernikahan adalah kesamaan akidah.
Sebab dari kesamaan akidah akan mudah menentukan kesamaan tujuan sekaligus
kesamaan cara hidup. Dan hanya dengan ini kelak upaya untuk saling membantu
dalam mentaati Allah (at ta’aawun bil birri wat taqwa) akan lebih tercipta, di
mana dari sini kebahagiaan hakiki akan dicapai, tidak saja di dunia melainkan
juga di akhirat. Wallhu ’lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar