Memang masalah penghasilan hampir
selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah
pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan
membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu
semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti
dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari
mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan
diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan
beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi
sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.
Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu
rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah
rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan
cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi
wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah
jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan
pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.
Abu Bakar Ash-Shidiq ketika
menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan
memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.†Al-Qurthubi berkata, “Ini
adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk
mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.â€
(lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul
Kutubil Ilmiah, Beirut).
Rasulullah saw. pernah mendorong
seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada
Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.†(HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang
pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang
menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.â€
(HR. Turmudzi dan Nasa’i)
Imam Thawus pernah berkata kepada
Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan
Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari
pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.†(lihat Siyar A’lamun
Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua
secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan
pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun
pernikahan.
Persoalannya sekarangan, mengapa
banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat
banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak
bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing
ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa
Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa
banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih
makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan
bukan sebuah persyaratan utama.
Yang paling penting adalah
kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara
maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun
bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah
itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak
harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung
jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab
pernikahan.
Bahkan tanggung jawab menikah
jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan
saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang
Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan
ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang
jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan
pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan
juga dalam sisi ekonomi.
Pernikahan dan Menuntut Ilmu
Seorang kawan pernah mengatakan,
ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia
tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya
sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum
selesai mencari ilmu.
Ada sebuah pepatah diucapkan para
ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa
ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau
tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas.
Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara
menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar
kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.
Banyak para ulama yang menikah
juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat
dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program
studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga
pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode
studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan
selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada
tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta.
Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas
apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.
Berbagai pengalaman membuktikan
bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang
berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal.
Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap
berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika
setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya,
pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan
seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga
yang Islami.
Rasulullah saw. telah memberikan
contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan
sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau
konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat
tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan
hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang
cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah
menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa
dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini.
Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus
ditahan-tahan.
Untuk memenuhi tuntutan gelora
itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan.
Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah
(uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar
seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak
maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya
dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan
para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika
benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak
menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.
Kesimpulan
Sebenarnya pernikahan bukan
masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan
bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara
apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi
sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam
kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk
menunda pernikahan.
Agar pernikahan menjadi solusi
alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban†ke “pernikahan sebagai ibadahâ€. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba
waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa
senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun
kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan
jiwa tawakkal kepada Allahâ€. Sudah
terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan
pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah
tangga sejati.
Perhatikan mereka yang suka
berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua
padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari
itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih.
Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan
pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu
jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun
pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber : milist
ukhuwah_sehati@yahoogroups.com
http://www.dtjakarta.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=148&Itemid=33
Dipublikasikan pada: 4/4/2007 |
17 Rabbi al-Awwal 1428 H | Hits:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar