________________________________________
Kita hidup di zaman yang
mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan.
Bila mereka tidak saja berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak
hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga.
Mengapa kita takut untuk mentaati
Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko
yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang
resiko? Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?
Hidup, bagaimanapun adalah sebuah
resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada resikonya adalah bahwa kita tidak
dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu
pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari
pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat
maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya
lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada
resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan
menolak perzinaan.
Banyak alasan dari kawan-kawan
yang masih melajang, padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar
alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat, ada
yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan
untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas
mengenai mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya
akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk
membenarkan sikap.
Menikah itu Fitrah
Allah Taala menegakkan sunnah-Nya
di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa
zaujain, “dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan” (Adz-Dzariyaat:
49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan
fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada
dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. Walan
tajida lisunnatillah tabdilla, ” dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati
perubahan pada sunnah Allah” (Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah
tahwiila, “dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu.”
(Al-Isra: 77)
Dengan melanggar sunnah itu
berarti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Karena tidak mungkin
Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem
lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal.
Manusia dengan kecanggihan ilmu
dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah ini
dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt.
telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah
tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.
Bila sikap menentang fitrah ini
terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung resikonya adalah manusia itu
sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari rahasia sunnah
berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dari
masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi
pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak
ratusan abad yang silam.
Mungkin ada yang nyeletuk, tapi
kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti dengan cara menikah.
Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi
lain dari fitrah yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu:
cinta dan kasih sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan
pernah mungkin tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus
diikat dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah
memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut Allah
dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih
sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.
Allah berfirman fankihuu, dengan
kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika
membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang adalah
perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa:
32). Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah
haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia
hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.
Mendekati zina dengan cara
apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa
pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya
harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri.
Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong
sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong
anaknya dari hasil zina.
Perhatikan bagaimanan akibat yang
harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa
dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang
sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan,
“Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir,
impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih dari mereka yang
telah menikah.â€
Menikah Itu Ibadah
Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah
menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat pernikahan dengan sederet
bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan menikah
kita telah menegakkan satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah
kesempatan Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah,
“Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka
hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.†(HR. Baihaqi, hadits Hasan)
Belum lagi dari sisi ibadah
sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi setelah
menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan
lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih
terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang
yang telah menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang yang
terbentengi) . Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa kepribadian
orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada mereka yang belum
menikah.
Bila ternyata pernikahan
menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga
diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan
merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah
lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan
tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda
untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun juga ibadah.
Pernikahan dan Penghasilan
Seringkali kita mendapatkan
seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak
menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu
ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari
mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang
cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang
berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?
Saya belum pernah menemukan
sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang
sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam
beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang
sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang
diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin
ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika
tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal
sebagian surat Alquran.
Apa yang tergambar dari kenyatan
tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai
masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah
beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda
terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama
yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku
Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan
untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw.
pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah,
lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas
sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan
fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar